Beranda | Artikel
Haruskah Urut Dalam Pelaksanaan Shalat Fardhu?
Selasa, 7 Maret 2017

HARUSKAH URUT DALAM PELAKSANAAN SHALAT FARDHU?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Apabila shalat fardhu ditunaikan pada waktunya, maka wajib dilakukan sesuai urutannya, karena waktunya berurutan dan shalat-shalat tersebut memiliki waktu khusus. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allâh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman [An-Nisâ’/4 : 103]

Namun terkadang, timbul permasalahan dalam urutan pelaksanaan shalat fardhu, yaitu bila terkumpul dalam satu waktu lebih dari satu shalat fardhu. Misalnya, ketika menjama’ (mengumpulkan) dua shalat atau meng-qhada[1] shalat.

URUTAN SHALAT KETIKA DIJAMA’
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta memiliki keistimewaan, diantaranya yaitu memberikan kemudahan kepada manusia dan dalam pelaksanaannya juga disesuaikan keadaan mereka. Diantara bentuk rahmat tersebut yaitu adanya syari’at menjama’ (mengumpulkan pelaksanaan-red) dua shalat dalam satu waktu karena ada udzur, seperti safar (bepergian jauh) dan yang lainnya. Para Ulama sejak dahulu telah bersepakat tentang bolehnya menjama’ shalat Zhuhur dan shalat Ashar di padang Arafah juga bolehnya menjama’ shalat Maghrib dan shalat Isya di Muzdalifah. Ini disampaikan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma’,  (hlm. 36) dan al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah, 7/155 serta Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatâwâ 22/85.

Namun diluar dua tempat tersebut, para Ulama berbeda pendapat. Mayoritas Ulama memandang bahwa jama’ itu tetap disyari’atkan atau diperbolehkan pada selain dua tempat di atas selama ada udzur yang membolehkannya. Adapun Hanafiyah membatasi bolehnya menjama’ hanya pada dua masalah tersebut di atas.[2]

Permasahan lain terkait syari’at menjama’ shalat adalah hukum mengurutkan shalat yang dijama’, baik jama’ shalat itu dilakukan pada waktu shalat yang pertama atau pada waktu shalat yang kedua, baik ketika berada di Arafah, di Muzdalifah atau tempat-tempat lainnya.

Para Ulama ahli fikih dari empat mazhab sepakat tentang disyari’atkannya untuk mengurutkan pelaksanaan dua shalat yang dijama’, karena syariat telah menetapkan waktu shalat secara berurutan. Sehingga ketika menjama’ shalat Zhuhur dan shalat Ashar, maka shalat Zhuhur terlebih dahulu dikerjakan baru setelah itu shalat Ashar. Ketika shalat Maghrib dan Isya’ dijama’, maka shalat Maghrib didahulukan.

Mereka juga sepakat atau tidak berselisih pendapat dalam masalah kewajiban mengurutkan dua shalat yang dijama’, jika dua shalat itu dikerjakan pada waktu shalat yang pertama, yang disebut dengan jama’ taqdîm, bahkan mereka menjadikannya sebagai syarat sah. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dijama’ dan dilakukan pada waktu shalat Zhuhur, maka ketika itu shalat Zhuhur wajib dikerjakan terlebih dahulu, setelah itu baru memulai shalat Ashar dengan takbiratul ihram. Begitu juga, jika shalat Maghrib dan Isya dijama’. Jika dalam jama’ taqdîm, shalat kedua dikerjakan terlebih dahulu, maka shalatnya tidak sah. Misalnya, shalat Maghrib dan shalat Isya’ dijama’ lalu shalat Isya’ dikerjakan terlebih dahulu, padahal jama’ itu dikerjakan pada waktu shalat Maghrib, maka ini tidak sah.[3]

Mana Yang Didahulukan Dalam Jama’ Ta’khîr?
Yang diperselisihkan oleh para Ulama adalah urutan shalat dalam jama’ ta’khîr[4]. Apakah mengurutkan shalat yang dijama’ dengan sistem jama’ ta’khir itu merupakan hal yang wajib dan menjadi syarat sah atau tidak?

Dalam permasalahan ini ada dua pendapat para Ulama:
Pendapat pertama: Urut dalam pelaksanaan dua shalat yang dijama’ dengan cara jamak ta’khîr hukumnya wajib dan menjadi syarat sah. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah[5], Mâlikiyah[6] dan Hanâbilah[7].

Diantara dalil pendapat ini adalah semua hadits yang dinukilkan dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjama’ shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melaksanakannya secara berurutan. Contohnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dan shalat Ashar di Arafah secara berurutan sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jâbir bin Abdillâh Radhiyallahu anhu yang panjang tentang tata cara haji Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:

ثُمَّ أَذَّنَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ، وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Kemudian dia mengumandangkan adzan, kemudian iqamah lalu shalat Zhuhur, kemudian iqamah lagi untuk shalat Ashar dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan shalat lainnya diantara keduanya. [HR. Muslim no. 147]

Disamping juga, ada perintah dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umatnya mengikuti cara shalat Beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian telah melihatku shalat. [HR. Al-Bukhâri no. 605]

Pendapat ini memberikan alasan tentang wajibnya mendahulukan shalat pertama pada jamak taqdim bahwa shalat yang kedua sebenarnya belum masuk waktunya dan dibolehkan karena ikut dengan shalat yang pertama dan yang ikut tidak boleh mendahului yang diikuti.

Ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin wajib menunaikan shalat secara berurutan sesuai dengan urutan waktunya. Artinya, shalat Zhuhur wajib dikerjakan terlebih dahulu, setelah itu, baru shalat Ashar dikerjakan.

Pendapat kedua: Urut dalam pelaksanaaan dua shalat yang dijama’ dengan cara jamak ta’khîr hukumnya sunnah, tidak wajib dan bukan syarat sah. Sehingga apabila shalat yang kedua dilaksanakan terlebih dahulu baru shalat yang pertama, maka shalat yang dijama’ itu sah. Ini adalah pendapat Ulama yang bermazhab Syâfi’iyah.[8]

Mereka berpendapat tidak wajib urut dalam jamak ta’khîr, karena waktu saat jama’ itu dilaksanakan adalah waktu untuk shalat yang kedua, sehingga apabila shalat kedua itu dikerjakan terlebih dahulu berarti dia telah melaksanakan shalat itu pada waktunya.

Manakah Diantara Pendapat Di Atas Yang Râjih (Lebih Kuat)
Dr. Abdullâh bin Shâlih al-Kanhâl[9] dan Syaikh Kamâl bin Sayyid Salîm[10] merajihkan pendapat yang pertama. Dengan alasan, shalat lima waktu itu diwajibkan secara urut sesuai waktunya sehingga shalat-shalat itu wajib dilaksanakan sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan syari’at. Apabila ada keringanan menjama’ dua shalat dalam satu waktu karena ada udzur (alasan yang dibenarkan syari’at-red), maka mestinya mencukupkan diri dengan sebab keringanan tersebut dan tidak dalam urutan shalatnya. Karena tidak ada dalil yang jelas tentang bolehnya melaksanakan shalat secara tidak berurutan. Alasan lainnya adalah keringanan bolehnya menjama’ shalat dalam rangka mempermudah dan menghilangkan kesulitan (al-haraj) dan tidak dalam kewajiban mengurutkan shalat yang dijamak.

Demikianlah pendapat yang râjih dalam masalah ini.

URUTAN SHALAT DALAM PELAKSANAAN QADHA’
Sudah dimaklumi bersama bahwa shalat itu harus dilakukan pada waktunya. Namun terkadang karena ada sebab tertentu, shalat tidak bisa ditunaikan pada waktunya dan setelah lewat waktunya baru bisa ditunaikan. Pelaksanakan shalat seperti ini dinamakan mengqadha’ shalat.

Apabila waktu shalat telah tiba, namun shalat itu belum bisa dilakukan sampai habis waktunya atau keluar dari waktunya dengan sebab udzur syar’i. Setelah keluar dari waktunya, dia ingin menunaikannya atau mengqadha’nya. Pertanyaannya, apakah harus urut sesuai urutan waktu shalat ataukah tidak wajib berurutan?

Para ahli fikih dari empat mazhab sepakat tentang disyari’atkannya mengurutkan shalat sesuai urutannya dalam pelaksanaan qadha’ shalat. Artinya disyari’atkan melaksanakan shalat yang diqadha’ terlebih dahulu, setelah itu baru mengerjakan shalat yang ada di waktu tersebut. Misalnya, seseorang yang sedang berada di waktu shalat Maghrib dan ingin mengqadha’ shalat Ashar yang terlupakan, maka ia terlebih dahulu melaksanakan shalat Ashar, setelah itu shalat Maghrib.

Mereka sepakat tentang disyari’atkannya urut atau tertib dalam menunaikan beberapa shalat yang diqadha’, sehingga apabila seseorang mengqadha’ shalat Zhuhur dan shalat Ashar di waktu shalat Maghrib, maka dia tunaikan shalat Zhuhur terlebih dahulu, setelah itu shalat Ashar lalu terakhir shalat Maghrib.

Yang Dimasalahkan Adalah Apakah Melaksanakannya Secara Urut Itu Wajib Ataukah Sunah?
Dalam masalah ini para Ulama terbagi dalam dua pendapat:

Pendapat pertama: Urut dalam pelaksanaan shalat yang diqadha hukumnya wajib. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama fikih dari madzhab al-Hanafiyah[11], al-Mâlikiyah[12] dan al-Hanâbilah[13]

Diantara dasar pendapat ini adalah:
1. Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengqadha’ shalat pada perang Khandaq secara urut, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Diantaranya hadits Jâbir bin Abdillâh Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ

Sesungguhnya Umar bin al-khathâb Radhiyallahu anhu datang pada perang Khandaq setelah terbenam matahari, lalu mulailah Beliau mencela orang-orang kafir Quraisy dan berkata: Wahai Rasulullâh aku tidak bisa shalat Ashar hingga matahari hampir terbenam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Demi Allâh! Aku juga belum shalat Ashar. lalu kami pergi ke Buth-haan lalu Beliau berwudhu untuk shalat dan kamipun berwudhu. Lalu Beliau shalat Ashar setelah terbenam matahari kemudian shalat Maghrib setelahnya. [HR. Al-Bukhâri]

Demikian juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu  beliau berkata:

شَغَلَنَا الْمُشْرِكُونَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ، عَنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ، حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِي الْقِتَالِ مَا نَزَلَ فَأَنْزَلَ اللهُ {وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ} [الأحزاب: 25]، وَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِلَالًا فَأَذَّنَ لِلظُّهْرِ فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَذَّنَ لِلْعَصْرِ، فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَذَّنَ لِلْمَغْرِبِ فَصَلَّاهَا فِي وَقْتِهَا “

Kaum Musyrikin menyibukkan kami pada perang Khandaq dari shalat Zuhur hingga terbenam matahari, Hal itu sebelum turunnya ayat-ayat peperangan, lalu Allâh Azza wa Jalla turunkan firmannya yang artinya: “Dan Allâh menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan”.(Al-Ahzâb/33:25). Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal lalu adzan waktu Zhuhur dan melakukannya di waktunya kemudian adzan Ashar lalu melakukan shalat di waktunya  kemudian adzan Maghrib dan melakukannya di waktunya. [HR. An-Nasâ’i 2/17. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ’i].

hadits-hadits ini menunjukkan wajibnya urut dalam menunaikan shalat yang diqadha.

2. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau berabda:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}

Siapa yang lupa shalat maka hendaknya shalat ketika ingat, tidak ada kafarah (penebus) baginya kecuali itu. Allâh berfirman, (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.( Tha-ha/20 : 14). [Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu mengqadha’ shalat karena lupa adalah ketika ingat. Saat ingat bahwa ada shalat yang tertinggal, maka ia harus langsung dikerjakan dan tidak boleh mengerjakan shalat lainnya walaupun itu adalah waktu bagi shalat lainnya. Ini menunjukkan wajibnya melaksanakan shalat qadha secara urut sebelum shalat yang ada di waktu tersebut.

3. Analogi dengan shalat jama’. Sebagaimana diwajibkan urut dalam menjama’ shalat maka shalat yang diqadha’ juga wajib urut.

Pendapat kedua: urut dalam pelaksanaannya hukumnya sunah. Ini adalah pendapat mazhab asy-Syafi’iyah.[14]

Diantara dalil pendapat ini adalah:
1. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , beliau berkata:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ: «شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللهُ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا»، ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ، بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pada perang Ahzâb, “Mereka telah menyibukkan kita dari shalat Wustha, shalat Ashar. Semoga Allâh memenuhi rumah-rumah dan kuburan mereka dengan api. Kemudian Beliau melaksanakan shalat Ashar antara dua Isya ; antara Maghrib dan Isya’ (HR. Muslim)

Tampak dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Ashar setelah shalat Maghrib. Ini menunjukkan bahwa urut dalam pelaksanaan shalat qadha’ itu tidak wajib.

2. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau berkata:

عَرَّسْنَا مَعَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ نَسْتَيْقِظْ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لِيَأْخُذْ كُلُّ رَجُلٍ بِرَأْسِ رَاحِلَتِهِ، فَإِنَّ هَذَا مَنْزِلٌ حَضَرَنَا فِيهِ الشَّيْطَانُ»، قَالَ: فَفَعَلْنَا، ثُمَّ دَعَا بِالْمَاءِ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَصَلَّى الْغَدَاةَ

Kami beristirahat di akhir malam dalam perjalanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu kami tidak bangun hingga matahari terbit. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya setiap orang memegang kepala ontanya (untuk pergi), karena ini adalah tempat tinggal syaitan. Lalu kami melakukannya kemudian Beliau meminta air dan berwudhu kemudian shalat dua raka’at kemudian diiqamatkan shalat lalu Beliau shalat Shubuh. [HR. Muslim]

3. Shalat-shalat yang diqadha’ adalah hutang sehingga tidak wajib urut dalam pelaksanaannya kecuali dengan dalil dan disini tidak ada dalil tegas untuk itu. (lihat al-Majmu’ 3/71)

4. Analogi dengan qadha’ Ibnu Abdilbarr rahimahullah menjelaskan hal ini bahwa urut dalam pelaksanaan shalat hanya diwajibkan jika shalat dikerjakan pada waktunya saja, sebagaimana diwajibkan urut pada hari-hari Ramadhan dalam bulan Ramadhan tidak pada selainnya. Apabila waktunya telah keluar maka gugurlah kewajiban urut tersebut. Tidakkah anda melihat Ramadhan diwajibkan urut dan sesuai waktunya? Apabila telah berlalu Ramadhan maka tidak wajib urut (dalam pelaksanaan qadha’nya) dan tidak wajib orang yang punya hutang puasa karena sakit atau Safar kecuali sesuai hitungan harinya? Demikian juga orang yang berhutang puasa Ramadhan lalu belum mengganti puasanya hingga masuk Ramadhan setelahnya, maka dia berpuasa Ramadhan tahun tersebut kemudian berpuasa hari-hari yang belum diqadha dari awal setelah bulan Ramadhan tersebut dan tidak mengulanginya. ini adalah ijmak’ kaum Muslimin. [15]

Sebab Perbedaan pendapat ini
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa faktor perbedaan pendapat ini kembali kepada dua hal:

  1. Perbedaan hadits-hadits yang ada dalam masalah ini.
  2. Perbedaan dalam penyerupaan qadha (pelaksanaan shalat setelah lewat waktunya) dengan ada’ (pelaksanaan shalat pada waktunya). 

Manakah Diantara Pendapat Di Atas Yang Râjih (Lebih Kuat)
Syaikh al-Kanhâl rahimahullah menyatakan bahwa dalam hal ini ada masalah yang sangat berpengaruh dalam mentarjih pendapat-pendapat ini yaitu dasar pokok hukum dalam masalah ini. Tampaknya menurut beliau bahwa dasar pokok masalah ini bersama pendapat yang tidak mewajibkan urut dalam pelaksanaan shalat yang diqadha’. Itulah yang diisyaratkan dalam sandaran pendapat ini dengan meminta dalil tentang kewajibannya, sebab orang yang berpegang kepada dasar pokok cukup membantah dalil orang yang menyelisihinya agar selamat tetap pada hukum asalnya.

Namun dengan menelaah masalah ini akan tampak –wallâhu a’lam– dasar hukum dalam masalah ini ada pada mereka yang mewajibkan urut. Hal ini karena shalat-shalat tersebut diwajibkan secara berurut dan urutannya mengikat setiap shalat dilakukan pada waktu yang khusus, apabila bersatu dalam satu waktu karena udzur. Sehingga tidak ada dalil yang mengugurkan keharusan urut diantara shalat-shalat tersebut, karena hukum asalnya adalah demikian. [16]
Melihat kepada dalil pendapat mayoritas Ulama tampaknya pendapat yang mewajibkan inilah yang rajih, karena memang itulah hukum asalnya. Yaitu wajib urut dan dalil-dalilnya kuat seperti hadits Anas dan Ibnu Umar di atas serta ditambah kesepakatan para ulama tentang disyari’atkannya pelaksanaan shalat qadha’ secara urut.

Wallâhu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Melaksanakan shalat yang tertinggal atau terlewatkan waktunya karena suatu sebab yang dibenarkan syari’at-red
[2] lihat ad-Durul mukhtâr dengan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/255-256.
[3] lihat Bada’i Shana’i 2/152, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/374 dan al-Inshaaf 2/345-346.
[4] Jama’ ta’khîr yaitu menjama’ atau menggabungkan pelaksanaan dua shalat yang diperbolehkan dalam satu waktu dan dikerjakan pada waktu shalat yang kedua, misalnya menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar dan kedua shalat itu dikerjakan pada waktu shalat Ashar-red
[5] lihat Fathul Qadîr, 2/172
[6] lihat Bidâyatul Mujtahid, 1/219-220.
[7] lihat Syarh Muntahal Irâdat 1/282
[8] lihat al-Majmû’ 4/374-376 dan Mughnil Muhtâj 1/272-273
[9] lihat at-tartib Fil ‘Ibâdât Fil Fiqhil Islami 1/308.
[10] lihat Shahîh Fiqh Sunnah 1/496
[11] lihat al-Mabsûth, 1/87
[12] lihat al-Mudâwanah, 1/122
[13] lihat al-Mughni, 2/336
[14] lihat al-Majmû’ 3/70.
[15] al-Istidzkâr, 1/116-117).
[16]  lihat at-Tartib fil-Ibadaat 1/324


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6492-haruskah-urut-dalam-pelaksanaan-shalat-fardhu.html